Kisah Suyanti Dapat Berkah Dari Sampah
Jam di handphone Samsung tua saya telah menunjukkan
pukul 16.58 WIB, sore itu kota Banda Aceh tengah dibalut awan gelap sejak siang
namun hujan. Wajar saja karena saat itu Indonesia sedang memasuki musim penghujan.
Saya berjanji untuk bertemu dengan salah seorang seorang guru di SMA N 1 Lubok. Setelah tiba di Taman Sari, Banda Aceh terlihat seorang wanita sedang duduk
dengan menggunakan selendang berwarna merah merekah dengan accesoris pita dari
kain perca ditambah lagi dengan gamis berwarna kuning dan merah sehingga tampak
serasi dengan wajahnya yang kuning langsat.
Bersama seorang adik kecil nan mungil dengan rambut
terurai tak tertutup jilbab itu, ia duduk di tugu kecil di dekat mushalla Taman
Sari menunggu kedatangan saya. Setelah bertemu, kami sepakat untuk duduk di
salah satu stand semacam kantin. Wanita dengan tinggi semampai itu memegang
anaknya sambil menuju ke sana. Tangan mereka yang bergandengan terus berayun
hingga sampai di kantin tersebut yang kebetulan saat itu sedang berlangsung
Pasar Rakyat yang diadakan mulai tanggal 8 hingga 16 Desember 2012.
Ibu dengan tiga orang anak itu bernama Suyanti. Lulusan
sarjana Ekonomi Universitas Syiahkuala ini adalah pencetus arisan sampah di
sekolahnya dan yang pertama di Aceh Besar tempat ia tinggal dan memberi ilmu
kepada siswa-siswi SMA N 1 Lubok, kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. Semula tak
pernah tersirat di pikirannya untuk mengajak muridnya dalam arisan tersebut,
namun ia mulai berfikir keras agar anak didiknya bisa meringankan beban orang
tua mereka.
“Pertama saya melihat mereka terkadang mempunyai
uang jajan terkadang tidak, jadi saya ingin mereka bisa sedikit mandiri dan
sedikit mengurangi beban orang tua mereka,” kata wanita kelahiran Banda Aceh,
14 Januari 1976 ini.
Wanita yang biasa disapa Yanti ini memperoleh
informasi tentang ekonomi keluarga anak muridnya itu saat mereka baru masuk ke
SMA. Sebelum melakukan proses belajar mengajar saat ajaran baru mulai bergulir,
ia yang menjadi guru Ekonomi menyuruh muridnya untuk menulis diselembar kertas tentang
bagaimana kondisi ekonomi keluarga masing-masing tanpa membubuhi nama mereka
agar bisa menyampaikannya dengan jujur. Setelah itu baru Yanti mengetahui bagaimana
kondisi keuangan keluarga mereka.
“Dari situ saya mengetahui bahwa orang tua mereka
banyak yang kurang mampu, mulai dari
tukang bakso, supir labi-labi hingga pedagang kaki lima. Dan dalam satu
keluarga kan karakternya berbeda-beda, ada yang uang jajan mereka diberi untuk
adiknya, macam-macam lah pokoknya,” kata
Yandi sambil memegang gelas berisi jus mangga yang ia pesan tadi dan belum
diteguk sedikitpun.
Setelah berfikir keras akhirnya istri dari Maimun
Syah Banta (46) ini menemukan sebuah ide brilian yaitu membuat Arisan Sampah.
Selayaknya sebuah arisan biasa yang dimana para peserta arisan mengumpulkan
uang yang telah disepakati sebelumnya kemudian dikumpulkan bersam-sama. Setelah
itu nama-nama mereka yang telah ditulis pada kertas kecil, diundi. Nama siapa
yang muncul maka akan mendapatkan uang tersebut.
Arisan ala Yanti pun tak jauh berbeda. Bukan uang
yang dikumpulkan, melainkan hanya sampah yang telah ditentukan sebelumnya untuk
kemudian dikumpul dan dijadikan uang. Setiap minggunya ia bersama anak muridnya
mengundi nama mereka, nama yang keluar nantinya yang mendapatkan uang tersebut.
“Kami memulainya dengan mengumpulkan 10 aqua gelas
sehari, dalam satu minggu harus terkumpul minimal 50 gelas aqua yang tidak
dipakai lagi,” kata wali kelas X2
(sepuluh-dua) ini.
Arisan yang masih belum familiar di masyarakat ini
dimulai pada saat tahun ajaran baru tepatnya pada bulan Agustus 2012 lalu.
Namun itu tak terasa mudah,”Memang lah, semua yang menuju kebaikan tidak ada
yang mudah,” kata Yanti sambil mulai meneguk jus pesanannya itu.
Wanita yang hobi menulis, membaca serta traveling
ini harus mencicipi pil pahit terlebih dahulu saat memulai arisan yang masih
dikira aneh oleh sebagian masyarakat sekolah maupun di luar sekolah, bahkan
dari muridnya sendiri.
“Saat saya mulai melakukan gerakan itu, beberapa
kali saya mendengar orang tua murid bertanya kepada guru lain, eh ibu itu kenapa suruh anak muridnya
kutip-kutip sampah, padahal mereka belum mengeti apa yang saya lakukan
sebenarnya,” katanya mulai serius namun tetap santai. “Ada juga anak-anak dari
kelas lain bilang-bilang, guru di sekolah
suruh-suruh, mamak di rumah aja nggak ada suruh pun,” tambahnya menirukan
apa yang ia dengar dari murid-muridnya.
Murid-murid di kelas lain pun mulai menyindir
tindakan Yanti yang dinilai aneh dan tidak masuk akal oleh sebagian orang saat
itu. Selain sindiran dan munculnya pertanyaan-pertanyaan seputar itu ia juga
ditimpakan masalah internal di ruang kelasnya. Anak didiknya yang sudah mulai
memasuki masa puber itu, terkadang malu saat mengutip-ngutip sampah di
lingkungan sekolah mereka.
“Mereka kan masih puber jadi ada rasa malu terhadap
orang-orang yang melihat mereka, apalagi yang sudah memiliki pasangan, ya tau
lah,” katanya sambil tertawa lepas.
Akibat itu maka pada minggu-minggu pertama masih
sedikit anak-anak yang mengumpulkan sampah dan memilih melakukan sit-up untuk
putri dan push-up untuk putra yang tidak mengikuti arahan sang guru.
Hal tersebut ternyata dibenarkan oleh salah seorang
murid nya yang kebetulan ialah sekretaris kelas, Rihanna. Dara kelahiran
Sibreh, 6 Maret 1997 ini mengaku agak malu saat memulai hal yang masih terasa
aneh itu. “agak malu sih, apalagi pas ada yang tanya-tanya, eh ngapai kutip sampah, makanya malu,
tapi ya dilawan aja, lama-lama pasti jadi berani,” kata Rihanna yakin saat
ditemui di kantin sekolah yang menjadi kampung wisata tersebut.
Kantin mereka yang berada di luar dan di dalam
sekolah itu begitu asri, dengan lingkungan yang bersih sehingga membuat siapa
saja yang duduk disana betah berlama-lama, terlebih lagi lokasi duduk di kantin
luar itu tepat berada di bawah pohon besar sehingga tak tersentuh terik
matahari. Benar-benar `hijau`.
Ucapan senada juga terlontar dari ketua kelas
merangkap bendahara di kelas sepuluh-dua, Elya. Awalnya ia hanya mencoba untuk
menjalankannya, jika dikira bagus maka akan tetap lanjut.”Malahan orang tua
kami bilang bagus, jadi ada kerjaan juga,” kata wanita yang menjadi ketua kelas
di kelasnya dan bendahara dalam urusan arisan sampah tersebut disaat yang
bersamaan.
Namun bukan Yanti namanya jika tidak bisa memberikan
pengarahan yang lebih kepada mereka sehingga perlahan siswa-siswi bisa melakukan
apa yang ia harapkan.
Setiap saat mengajar, guru pemegang dua mata
pelajaran yaitu Ekonomi dan Kesenian ini sesekali mengajak anaknya nonton film
inspiratif di dalam kelas agar mereka tidak jenuh. “Selain itu kadang-kadang
juga saya ajak mereka untuk belajar di luar ruangan sehingga mereka tidak bosan
dalam belajar dan bisa lebih termotivasi untuk mengikuti arisan sampah, juga
mendaur ulang sampah menjadi barang yang menghasilkan” katanya.
Meski sangat menyita waktu dan fikirannya, namun ibu
dari Dzikratul Ulya (10), Rizkatul Alya (9) dan Putri Nayla Sakinal (3) ini
tetap menyempatkan diri untuk menemani anak muridnya saat mencari-cari sampah
yang terdapat di sekitar sekolah selepas ibadah shalat Ashar. Hingga jam
menunjukkan kira-kira pukul setengah enam, maka mereka menghentikan
aktifitasnya dan beranjak pulang ke rumah masing-masing.
Setiap hari Rabu saat Yanti masuk ke kelasnya, murid-muridnya
sudah mengumpulkan sampah gelas aqua bekas masing-masing 50 buah ke dalam
kantong plastik yang sudah dibubuhi nama si murid yang mengumpulkan. Saat sudah
terkumpul semua maka perangkat kelas seperti ketua kelas, bendahara dan
sekretaris menjualnya ke tempat penjualan barang rongsokan saat pulang sekolah.
“Hasil yang didapat dari penjualan tersebut akan
diberikan kepada murid yang namanya keluar saat dilakukan mengundian. Tidak
banyak sih, biasanya hanya Rp 18 ribu saja,” kata wanita yang bercita-cita
ingin menjadi menteri Lingkungan Hidup ini. “Itupun ada satu dua murid yang
tetap enggan untuk mengumpulkannya, sebagai gantinya mereka hanya menyerahkan ke
KAS Rp 3 ribu. Tapi itu tidak masalah,” tambah wanita yang berbicara `cadel`
ini.
Uang yang di dapat oleh si murid langsung dijadikan
uang untuk melunasi pembayaran buku Lembar Kerja Siswa (LKS), selebihnya baru
dijadikan sebagai jajan mereka meski tidak cukup. “Ada juga beberapa murid yang
dikategorikan mampu, mereka malahan tidak mengambil uang tersebut melainkan
disetor menjadi uang KAS kepada bendahara,” jelasnya sambil kembali meneguk minumannya
yang tidak terasa hampir habis.
Tepat pada tanggal 2 Oktober 2012, sekolah tempat
Suyanti mengajar mendapat penghargaan dari Environment Online (ENO) Indonesia
di Palembang. ENO adalah suatu lembaga yang `bermain` di dunia maya tentang
segala hal yang bersangkutan dengan lingkungan. SMA N 1 Lubok di bawah
kepemimpinan kepala sekolah, Ridwan Razali pada tahun 2011 mengirim sebuah
video tentang sekolahnya dengan lingkungan kepada lembaga internasional
tersebut.
“Dalam video itu, kami seperti membuat drama tentang
lingkungan dalam bahasa Inggris dibawah
sebatang pohon yang ada di sekolah. Menjelang akhir drama, kami juga tak lupa
memberikan ucapan selamat kepada Marti Ahtisaari yang mendapatkan nobel
perdamaian,” kata Ridwan saat dijumpai di ruangannya yang dipenuhi piala-piala dari prestasi siswa-siswi di atas
meja dan lemari.
Marti adalah juru damai atau penengah saat
perseteruan antara Indonesia dan GAM yang telah menandatangani nota kesepakatan
(MoU), 15 Agustus 2005 silam di Helsinki, Finlandia. Ia juga sebagai pemilik
lembaga ENO tersebut dan mendapatkan nobel
perdamaian beberapa tahun lalu.
Sebelum kepala sekolah serta dua guru dan tujuh
murid berangkat ke Palembang untuk mengambil
penghargaan yang hanya didapat oleh sekolahnya dari seluruh Aceh
itu, ia sempat menceritakan tentang
arisan sampah yang ia rintis itu kepada kepala sekolah.
“Jadi pas di Palembang, pak kepala sekolah
menceritakan kepada seluruh hadirin yang datang saat itu di atas mimbar. Marti
yang menjadi pemilik ENO juga mendengarkan yang pak kepala sekolah bilang,
kemudian beliau dipanggil oleh Marti ke ruangnya,” kata pemilik Yanti Galery
ini mulai menceritaka apa yang ia dengar dari guru yang hadir disana.
Setelah bertemu di dalam ruangnya dan berbicara
sejenak sambung Yanti, ternyata sekolah yang berbasis lingkungan tersebut rencananya
akan diundang ke Finlandia untuk bertemu kembali dengannya.
Wacana itu
ternyata dibenarkan oleh Ridwan yang juga dipercayakan sebagai
koordinator ENO Aceh oleh ENO Indonesia. Namun secara pastinya ia belum tahu
kapan. “Martin sejak dulu sangat suka dengan Aceh dan selalu mengikuti perkembangan di
sini. Tapi kalau pastinya kapan kita
akan kesana ya belum tahu, karena belum ada konformasi dari pihak sana, dan
kalau dibiayai transport baru kami akan pergi, karena ke Finlandia melalui
udara saja membutuhkan waktu 18 jam dari Indonesia,” tambahnya.
Pria yang mulai menjabat sebagai kepala sekolah SMA
N 1 Lubok pada tahun 2011 ini juga mengaku upaya yang dilakukan oleh Yanti itu
sangat bagus untuk mendukung sekolah yang berbasis lingkungan.
“Kita sangat mengapresiasi apa yang dilakukan bu
Yanti terhadap murid-muridnya,” ujar nya.
Kini setiap kelas dimana Yanti mengajar, semuanya
membuat bank sampah dengan menempatkan sebuah tong di depan masing-masing kelas
mereka, tong tersebut hanya untuk menempatkan sampah aqua gelas.
Istri yang selalu disupport oleh suaminya terhadap
kegiatan arisan sampah itu juga sedikit cemburu dengan pemerintah Banda Aceh,
dimana semua sekolah di ibukota provinsi Aceh tersebut disediakan tempat sampah
khusus untuk botol atau gelas aqua.
“Saya cemburu lah dengan pemkot Banda Aceh, kami di
Aceh Besar tidak ada seperti itu, kami sangat mengharapkan nantinya pemerintah
kami bisa membuat seperti yang di Banda Aceh,” harapnnya.
Meski begitu, wanita yang mendapatkan juara tiga
dalam lomba menulis tentang lingkungan tingkat guru se-Banda Aceh dan Aceh
besar beberapa waktu lalu itu, tetap semangat dalam memotivasi anak didiknya
untuk bisa cinta terhadap lingkungan dan bisa memanfaatkan sampah menjadi
penghasilan.
Sekarang banyak hal yang ia dapatkan dari usahanya
membuat arisan sampah. Selain membuat para muridnya lebih mandiri, Yanti juga
mengaku dengan idenya itu bisa membuat ia dan siswa-siswinya lebih dekat. “Kami
juga bisa lebih dekat dalam segala dan
yang membuat saya sangat bersyukur adalah perubahan sikap anak-anak yang
menjadi lebih baik lagi,” ungkap guru yang membuat judul “Arisan Sampah Membawa Berkah” itu pada
lomba yang diikutinya itu.
Guru yang selalu berfikir berbuat dengan ikhlas,
sekecil apapun akan terasa indah ini terus saja memikirkan para muridnya,
terlebih masalah menjaga lingkungan dengan sampah. Saat ini ia sedang membuat
konsep Koperasi Simpan Pinjam Sampah.
“Saya sedang membuat sebuah konsep koperasi simpan
pinjam. Biasanya kan simpan pinjam berbunga dan bayarnya menggunakan uang, tapi disini nanti siswa yang pinjam uang di
KAS bayarnya dengan sampah.,” jelasnya.
Ia memisalkan jika seorang anak meminta pinjaman di
KAS sekolah sebanyak Rp 10 ribu, maka saat membayarnya ia harus mengembalikan
uang Rp 10 ribu ditambah dengan 50 gelas
aqua. Tujuannya hanya untuk menjaga
lingkungan agar tetap terawat dan tampak asri.
Suyanti hanyalah salah seorang wanita yang peduli
terhadap lingkungan dengan caranya sendiri untuk menjaga lingkungan agar dunia
tetap hijau dan terus hijau. [Rayful Mudassir]
Comments
Post a Comment