Siluet Senja
Matahari sepertinya sedang semangat hari ini. Sejak
pagi tadi, ia terus saja terangi penduduk bumi. Hingga kini sudah sepenggalan.
Bukannya tak senang, tetapi sepertinya ia tak memikirkan bagaimana gerahnya
orang-orang hari ini karena cahayanya. Angin terus berhembus memancarkan segala
ketenangannya di tengah siang. Beberapa lembar daun nangka yang sudah tua di
depan rumah, terjun dengan bebasnya ke tanah. Tanpa arah, tanpa dendam. Mengikuti
kehendak angin kala itu.
Rafa, kucing kesayanganku tertidur pulas di atas alas
kaki di pintu depan. Seperti biasa, jika tak ada orang di rumah, ia selalu
menjadi teman terbaikku. Hari ini ia tertidur dengan pulasnya. Mungkin si bulu
kuning putih itu sedang bermimpi menyantap ikan segar. Terlihat dari sudut kiri
kanan bibirnya tersenyum melebar.
Sejak pagi, akhirnya selesai juga pekerjaan rumah hari
ini. Menyapu lantai dan halaman depan, mencuci pakaian dan piring serta kaca
jendela. Kusempatkan juga membersihkan debu-debu yang ada di meja TV dan meja
makan dengan serbet tua dapur.
Lelah dengan pekerjaan rumah, kuputuskan untuk beristirahat
dulu, sambil menunggu keluargaku pulang. Dari arah dapur, perlahan menuju ke
kamarku dan adiku yang berada di sebelah kiri dari pintu masuk rumah. Tiba di
mulut kasur, sebelum merebahkan tubuh, kutaruh tongkat lengan, pengganti kaki
kiriku di bagian kepala kasur. “Ahh leganya.” Meski tempat tidurku hanya beralaskan
tikar tua peninggalan nenekku serta bantal kepala berbahan kapas, aku merasa
ini adalah tempat tidur ternyaman di dunia.
Sebenarnya dulu mama pernah memberiku kasur empuk yang
dibelinya dari tetangga sebelah saat mereka pindah rumah. Tapi kasur itu tidak
sampai dua tahun bisa kugunakan. Bukannya hancur atau tak suka lagi. Tapi
kuberikan pada adikku yang sudah kelas 6 Sekolah Dasar, yang ada di desa
tetangga, sekitar 700 meter dari rumah kami yang ada di perbukitan.
Sejak naik kelas, ibu dan ayah menyuruhnya untuk tidur
bersamaku di kamar depan. Tapi memang dasar adikku yang manja. Hingga kelas
lima SD, ia masih tidur bersama mereka.
Saat itu, orang tuaku memang sedang tak memiliki uang.
Angkot milik ayah sudah jarang dinaiki orang-orang. Mungkin karena tampang
mobil ayah yang tak karuan lagi kupikir. Gaji mama dari jasa cuci baju pada
tetangga pun mandek karena sering kali terlambat diberikan. Selain itu, mama
juga harus membayar hutang kepada orang.
Melihat kondisi itu, kurelakan saja kasur kesayangaku
untuk Nabila, adikku. Mungkin dengan memberinya kasur itu bisa membuatnya betah
tidur dikamar berdua denganku. Aku ? rasanya dengan kasur yang sekarang ini
juga sudah sangat bersyukur. Menurutku, kekurangan yang keluarga kami alami, masih banyak orang di luar sana yang kehidupannya lebih pahit
dari kami.
Lelah bersih-bersih membuatku terlelap dalam tidur
singkatku siang itu. Sekitar satu jam lebih aku tertidur, akhirnya terbangun
juga. Kulihat ke arah jam dinding unik bergambar Hello Kitty yang diberikan
oleh Razi dulu padaku. Pukul 13.30 WIB. Perlahan aku menuju ke kamar mandi yang
ada di sebelah kiri kamarku. Kubasuh beberapa bagian tubuhku untuk sekedar
kembali mengerjakan shalat. Menghadap sang pencipta dengan segala ketenangan
yang diberikanNya.
***
Matahari perlahan menuju ke ufuk Barat, seakan memberi
tanda hendak beristirahat dan digantikan dengan teman terbaiknya, Bulan. Warna
kuning keemasan menghiasi langit sore ini. Awan-awan yang mulanya berwarna putih
pun mengikuti cahaya sang langit yang temaram. Siluet senja ini selalu memberi
makna padaku, bahwa semua yang memiliki permulaan, pasti punya akhir.
Bagaimanapun keadaannya, mutlak akan terus seperti itu.
Langit seindah itu tak menghilangkan konsentrasi
anak-anak di sekitar rumahku, yang terus saja bermain bola kaki di lapangan
voli beralaskan semen di depan rumah. Dengan lapangan seadanya, mereka coba
membuat gawang kecil yang hanya berukuran sekitar 40 x 50 centimeter. Satu grup
beranggotakan tiga orang. Setiap satu grup keluar lapangan saat lawan mereka
lebih dulu memasukkan bola ke gawang dua kali. Selanjutnya di gantikan oleh
kelompok lain yang mengantri bermain. Begitu seterusnya.
“Assalamualaikum,” sapa adikku dengan wajah masam saat
sampai di depan pagar rumah. Aneh, kenapa dia seperti itu ya, biasanya ia tak
semurung itu. “Pasti ada masalah,” aku membatin.
“Waalaikum salam. Ada masalah ya di sekolah tadi. Kok
masam seperti itu, nanti bisa hilang lo
cantiknya,” balasku mencoba mencairkan suasana. “Tuh pak Kardi, guru
matematika. Padahal jawaban adek sudah benar di papan tulis, tapi masih juga
dibilang salah,” jawabnya keras-keras. Cemberut sambil mencampakkan begitu saja
tasnya di balik pintu kamar. Mama dan ayah yang sudah pulang sejak tadi sepertinya
hanya mendengarkan Bila saja, belum mau menanggapi mungkin.
“Yakin sudah benar ? apa mungkin Bila khilaf dalam
menghitung angka-angkanya,” kataku mencoba memberi masukan, coba menenangkan.
“Ahh kak Ana ni, kakak tahu apa tentang matematika, kakak kan sudah tidak sekolah
lagi. Pincang lagi !.”
Seakan disambar petir di tengah kumandang azan magrib.
“Kenapa seperih ini Bila,” aku membatin. Kulihat mama dan ayah ikut terkejut.
Tapi tetap kuberikan senyuman kepada mereka. Senyum semampuku. Kutahan perih
itu, kubasuh muka dan bagian tubuh lain mengambil wudhu. Kemudian kulangsungkan
shalat magrib sendirian di kamar, sedang yang lainnya shalat bersama di ruang
tamu. Fikiranku kacau. Bahkan tak ingin Tuhan tahu, walau itu mustahil.
“Rabb yang maha mengetahui segala sesuatu tentang
umatNya, apakah ini termasuk dalam rencanaMu terhadapku ?. Apakah akan ada
makna baik dari kejadian tadi?. Tunjukan padaku Rabbi. Tuhan yang paling
mengeri akan hati manusia. Kuharap cukup aku dan kau yang tahu bagaimana
perihnya hatiku saat ini. Biarkan peristiwa ini menjadi debu di tengah badai
pasir. Yang tak tampak di makan badai. Biar semua ini menjadi hikmah untukku.
Rabb ku yang Maha sempurna. Sempurnakan lah hati ini untuk menerima semua
keadaanku. Aku yakin, ini menjadi salah satu cara Mu agar nanti aku bisa
menikmati surgaMu. Amin,”
***
“Ana, yuk pulang.”
“Ia sebentar, Mira sedang mencatat bahan tugas untuk
besok,” kataku kepada Razi yang berdiri di samping kusen pintu kelasku. Sedang
aku sedang bersama Mira di dalamnya.
“Nanti kita tertinggal shalat jamaah loh,” katanya
sedikit memaksa.
“Sebentar Razi, lagian kenapa kita tidak shalat
berjamaah di mushalla sekolah saja. Kan nilai pahalanya sama,” kataku. Ada yang
aneh dengannya. biasanya tak tergesa-gesa seperti itu. Saat Mira selesai mencatat, akhirnya aku memutuskan
langsung ikut dengan Razi, takut ia menunggu lebih lama lagi.
“Udah selesai ya ? yasudah sekarang kita segera ke
masjid. Pegangan ya,” katanya saat aku mulai menaiki motor Supra 125 warna
kuning miliknya. Benar, ia tergesa-gesa. Aku semakin erat memegang besi yang
ada di sisi samping jok. Jelas terasa ia menancapkan gas motornya tanpa kontrol.
Motor dan mobil tak segan-segan ia lewati. Letak sekolah kami dengan masjid
sekitar 500 meter. Saat dipersimpangan, Razi yang konsentrasi ke arah depan,
tak melihat ada mobil lancer 90-an berlawanan arah dengan kami yang datang dari
arah kiri simpang tiga. Dan..
“Astaqfirullah, Ya Allah. Kenapa terus teringat dengan
kisah kelam itu,” aku terjaga dari tidur malamku. Mataku seakan tak mampu
membendung tangis kesedihanku. Air mataku tumpah tanpa henti, hingga ikut
membasahi leher baju tidurku. Aku bangun dan duduk di sisi tempat tidur,
meratapi semua kisah kelamku.
Aku seakan tak anggup menghadapi semua ini. sejak itu,
aku tak bisa bertemu lagi dengan Razi. Ia meninggalkanku untuk selamanya. Bukan
hanya aku, tapi semua orang yang mengenalnya. Namun ada satu hal yang sangat
aku syukuri. Aku masih hidup. Hanya saja aku harus mengorbankan kaki kiriku
karena menurut dokter saat itu, jika tak diamputasi, maka nantinya akan sulit
disembuhkan. Ada satu hal yang belum ku katakan padanya, Aku
mencintainya. Sangat bahkan. Tapi ia tak setia padaku, ia terlebih dulu pergi
dariku.
Namun meski kenangan itu sudah terjadi 2 tahun
terakhir, tetap saja aku teringat. Layaknya sebuah anak panah yang ditancapkan
di sebuah pohon. Meski dicabut, namun tetap saja membekas tak akan pernah
hilang dimakan zaman. Mungkin itu yang kurasakan.
***
Kumandang azan subuh memecah kesunyian malam kelam.
Mungkin hanya malam kelamku, bukan mereka yang nyenyak dalam tidunya. Kubasuh
muka dengan air serta bagian tubuh lainnya saat berwudhu. Seperti maksud wudhu
yang dengan air bisa menghilangkan kotoran-kotoran ringan di bagian luar tubuh.
Aku juga ingin menghilangkan seluruh beban fikiran yang ada padaku. Dan yang
mampu melakukan itu hanya satu, Allah.
Kubangunkan adikku dari tidur lelapnya untuk segera melaksanakan
shalat Subuh. “Kak, maafin Nabila ya udah bilang kakak pincang tadi malam,”
katanya tanpa beban saat baru terbangun.
Aku yang hendak melepaskan mukena, seketika terhenti.
Terkejut dengan ucapan adikku. Semilir angin segar masuk dari sela-sela jendela
kamarku. Menyentuh mukaku dengan lembut. Inikah jawabanMu Tuhan ? ternyata
sangat indah.
Air mataku kembali jatuh. Langsung kuraih tubuh adikku
yang masih kecil itu. memeluknya agar ia tak bisa melihatku menangis. Aku tak
mau ia ikut merasakan beban fikiranku. Aku hanya ingin dia bahagia dengan
kehidupannya. “Nggak papa kok. Yang penting Bila baik sama mama dan ayah ya,”
kataku dengan nada berat. Tak sanggup menahan haru. “Ia kak, adek mau shalat
dulu ya.”
Setelah makan pagi bersama, aku mengantar mama dan
ayah yang akan bekerja, serta adikku yang ada berangkat sekolah hingga
pagar rumah. Aku yang memutuskan
berhenti sekolah karena biaya dan kondisi yang tak memungkinkan, seperti biasa
membantu mama bereskan rumah. Aku tak terlalu mempermasalahkan itu. suatu saat,
akan ada yang mengajari banyak hal tentang dunia ini padaku nanti. Adikku.
Seperti seekor tupai yang pintar melompat. Ia tak bisa
melompat dengan jarak yang sangat jauh dari pohon ke pohon tanpa membiasakan
diri. Walaupun ada saatnya ia akan jatuh pula. Begitupun aku, Keadaan pahit
yang aku terima seakan menjadi ujian bagiku agar bisa menghadapi hidup dengan
lebih tegar. Meski nanti ada waktunya aku akan terpuruk kembali.
Tapi aku yakin semua akan berakhir dengan indah. Tuhan
tahu yang kumau. Tuhan tahu kesanggupanku menghadapi sesuatu. Ia akan mencoba
sejauh yang aku bisa, tak akan lebih. Aku yakin, dan percaya padaNya.
Matahari yang sama muncul lagi hari ini. Namun rasanya
tidak sepanas kemarin, tapi entahlah. Yang pasti ada yang berbeda padaku hari
ini. seakan Tuhan memberi kekuatan baru untukku dalam menghadapi dunia di
tengah keterbatasan. Aku cinta kalian semua, mama, ayah, Nabila, Rafa. Juga..
Razi.*
Comments
Post a Comment