Kampusku, Kampus Cinta Dana IDB
Tiba-tiba ingin sekali menulis
tentang kampusku tercinta. Menjadi salah satu kampus Jantong Hate Rakyat Aceh
setelah Unsyiah, tentunya UIN Ar-Raniry masih menjadi kampus bergengsi dengan
latar belakang Islam. Tak hanya itu, dengan gedung baru yang cukup megah ala
Gurun Pasir serta gelar Universitas yang umurnya belum genap satu tahun ini pun,
menambah citra positif dan cukup diminati oleh mahasiswa baru, tapi...
Menjadi anggota pers kampus sejak
akhir 2011 lalu tentu merupakan hal yang cukup membanggakan bagiku pribadi. Ya
walaupun masih saja malas menulis dengan beragam alasan, tetap saja itu menjadi
pengalaman yang bisa dibilang menjadi bekal untuk masalah tulis-menulis.
Apalagi dengan komentar pejabat kampus yang nyaris sama tiap diwawancara dan
menjadi keunikan tersendiri bagiku.
Saat baru-baru bergabung di persma,
aku mulai mendengar kata-kata IDB. Awalnya sangat tidak familiar kata-kata itu
di indra dengarku. Tapi setelah bertanya apa maksud IDB aku akhirnya tahu kalau
itu adalah singkatan dari Islamic Development Bank.
Perlu diketahui, setelah Aceh
dilanda bencana Gempa dan Tsunami 26 Desenmber 2004 silam, hampir semua
bangunan yang berada di dekat pantai luluh lantak diterjang oleh isi perut
bumi. Bangunan kampusku pun menjadi salah satu yang dilumat dan hancur. Hampir
seluruh bangunan hancur dan hanya beberapa yang masih berdiri.
Lakukan pembangunan ulang, pihak
kampus yang juga di dukung oleh Pemda Aceh mencoba meminjam uang dari IDB guna
merefresh bangunan lama menjadi megah dan layak lagi. Dana yang dikucurkan juga tak sedikit, Rp 350 M. Anehnya lagi kampus yang berlandaskan Islam ini melakukan
korupsi untuk membangun kampus sendiri, tak waras mungkin. Sampai-sampai dekan fakultas tarbiyah saat itupun disebut-sebut terlibat dalam tindak pidana korupsi tersebut.
Ahh... Kita lupakan saja kasus
para koruptor itu.
Saat masih semester tiga, aku
sempat wawancara Dekan Fakultas Dakwah, soal kapan radio fakultas yang telah
mati sejak 2008 itu bakal diaktifkan kembali. Jawabannya saat itu bisa
kumaklumi walaupun sedikit jengkel karena jawabannya. “Ya, kita sudah buatkan
proposal dan sudah dikirimkan ke IDB, jadi nanti tinggal tunggu di acc saja,”
katanya. Saat kutanya kapan pastinya akan dibangun kembali, jawabannya tetap
sama, “Kita tunggu kapan IDB akan acc, nanti baru bisa kita bangun lagi”.
Itu baru level rendah. Level
tertinggi juga ada, dan itu seakan menjadi kata-kata andalannya saat memberikan
sambutan, Rektorku tercinta. Tiap kali kuwawancara soal pembangunan kampus
selalu saja IDB yang menjadi kambing hitamnya. “Kita sudah minta dana IDB untuk
pembangunan kampus kedepan”.... “Nanti saat keluar dana IDB, baru bisa kita
jadikan kampus kita cyber campus”... “dari dana IDB semua fasilitas akan sangat
lengkap di kita mulai dari CCTV, AC juga fasilitas lainnya, jumlahnya Rp 60 M
untuk itu”... dan IDB IDB IDB terus yang
menjadi sasarannya.
Sangking bosannya aku mendengar
kata-kata itu, kadang kala bersama teman-teman kami jadikan itu sebagai lelucon
tersendiri. Saat melihat ada bangunan yang baru saja rusak plafon sebelum
dipakai (gedung PKM, Juni 2014) kami mengeluarkan kata-kata ‘membela’ kampus. “
Eh jangan gitu, itu dana IDB belum keluar semua makanya gitu,” kata kami penuh
tawa.
Tak hanya itu setiap apapun yang
berhubungan dengan pembangunan kampus kami jadikan lelucon agar kami sendiri
tak marah dengan apa yang terjadi pada kampus.
Beberapa waktu lalu, bersama
Dofa, aku coba untuk melihat sisi lain dari pembangunan kampus yang selama ini
kurang diperhatikan oleh mahasiswa sendiri. Mulai dari Asrama Kompas. Bangunan
yang sengaja dibangun sebagai asrama itu nyatanya kini menjadi bangunan tua
yang tak terurus. Bukannya sekarang sedang marak-maraknya mahasiswa/i yang
diasramakan. Kenapa tidak diperbaiki agar bisa dipergunakan kembali. Apa harus
ada dana IDB untuk merenovasi itu ?
Sadar tidak sadar, di sisi kiri
Fakultas Tarbiyah A ada semacam kebun binatang yang dipagari. Kalau boleh
kutaksir itu adalah kebun binatang milik Jurusan Biologi. Tapi tempat itu jauh
dari pengunjung. Pasalnya tak ada seekor binatangpun yang ada disana. Hanya ada
kandang-kandang tak bertuan. Apa harus ada dana IDB agar bangunan itu bisa
diaktifkan kembali ? Aku dan Dofa sempat berhayal, jika kebun binatang biologi
itu kembali diaktifkan, bukan tak mungkin akan menjadi tempat favorit mahasiswa
untuk menghilangkan rasa penat. Uang Rp 1000 atau 2000 bukan masalah rasanya bagi
tiap orang yang masuk untuk makanan dan biaya perawatan kebun.
Itu baru segelintir yang saya
pertanyakan dan hubungkan dengan dana IDB. Yang mengherankan adalah kenapa kita
selalu berharap pada dana itu ? apa tak ada cara lain agar pembangunan dan
pemeliharaan kampus berjalan semestinya.
Sisi belakang fakultas Adab dan
Himaniora yang lebih parah. Sangat-sangat tidak terurus, tiga rongsokan mobil
dan puluhan atau bahkan ratusan kusen pintu dan jendela tersusun di sana.
Ditambah lagi dengan besi tua sengaja dikumpulkan dalam dua gulungan. Belum
lagi dengan rumah-rumah darurat tak berpenghuni berjejer disana menggambarkan
kawasan perkampungan yang hilang penduduknya. Kami mencoba masuk lebih dalam,
tapi sayang, ternyata sangking kumuhnya, tempat itu menjadi lokasi empuk
kumpulan anjing melahirkan anaknya. Karena gonggongan pun kami mundur secara
perlahan. Apa harus ada dana IDB untuk mengurus hal itu bapak-bapak yang
terhormat ?
Satu lagi yang paling kentara
terlihat, rumput liar yang sama sekali tak sempat dibabat sepertinya. Ini juga
harus punya dana dari IDB ? oh tidaaak... atau janganlah kita berburuk sangka,
mari kita berfikir dengan positif, mungkin saja mereka sedang berjuang untuk
pendidikan dan cyber cybernya yang entah kapan bakal rampung.
Kalau saja hal sepele tidak bisa
diatasi, aku pesimis dengan penambahan empat fakultas di UIN nanti. Lima
fakultas yang ada saja lingkungannya tak semua mampu ditangani, apalagi dengan
sembilan fakultas. Apa ingin membuat kampus UIN seperti pada kampus di tengah
hutan belantara ? tak ada uang ?
Setiap mahasiswa baru bakal
diminta uang organisasi sebanyak Rp 50 ribu. Itu dimasa saya, mungkin jika saat
ini lebih tinggi lagi atau sama. Dana itu apa tak bisa disisihkan sedikit untuk
renovasi dan pemeliharaan kampus ? tak bisa ?
Atau juga dengan hati yang ikhlas
dan penjelasan yang jelas kepada mahasiswa, saya yakin mereka mau menyisihkan
jajan mereka Rp 1000 per minggu untuk perbaikan sana sini dan lainnya.
Mahasiswa UIN hampir mencapai 20.000 orang, artinya setiap minggi bisa mendapat
Rp 20 juta. Bagaimana dengan satu bulan, bagaimana dengan satu tahun ?
Saya rasa permasalah utama adalah
kemauan. Jika kita mau pasti akan mendapat apa yang diinginkan. Tentunya
kata-kata itu bisa digunakan di berbagai lini kehidupan termasuk di kampus
sendiri. Berhentilah bergantung pada yang lainnya. Yang ada hanya memberikan
kembali peluang tindak korupsi. Malu sekali rasanya kampus Islam yang tidak mencerminkan jiwa keislamannya . Jangan membahas kampus lainnya yang lebih buruk
jika kampus sendiri saja hal sepele tak terurus.
Tulisan ini hanya sedikit emosi
yang aku sampaikan, bukan tulisan pesanan, hanya menyampaikan jeritan mahasiswa
bodoh seperti aku ini. Ya kuharap kita semua sadar dengan kondisi kampus indah
kita kawan. []
Comments
Post a Comment