Kisah Seorang Anak Papua Kuliah Di Aceh
Langit masih terlihat
membiru walaupun matahari sudah berganti dengan bulan. Suasana bising pun untuk
sejanak berhenti lantaran semua umat muslim tengah melaksanakan ibadah shalat
magrib baik di Mesjid maupun di rumah mereka masing-masing.
Usai melaksanakan
shalat Magrib di rumah kerabat, tiba-tiba handphone Samsung yang saya letakkan
di atas kasur kayu berukuran 2x1 itu bergetar. Sejenak terlupa bahwa sebelumnya
saya mempunyai janji bertemu dengan salah seorang mahasiswa dari Papua yang saya
dapat nomor kontaknya dari sanak saudara yang berkuliah di FISIP Unsyiah.
Setelah saling membalas
pesan singkat, kami sepakat untuk segera bertemu di kantin Asrama Koperasi
Mahasiswa Unsyiah di jalan Inong Bale Darussalam. Sampai disana setelah
memarkirkan sepeda motor di depan kantin, tampak seorang pria berbadan gelap,
berambut kriting khas Papua, serta berhidung mancung, sedang duduk disana seorang
seperti sedang menunggu seseorang.
Saya langsung menuju ke
arahnya sambil berjabat tangan dengannya. Dengan head-set yang dipasangkan di
telinganya, serta jaket berwarna biru dengan lambang pemerintah Papua di
sebelah kiri jaket tersebut membuatnya terlihat agak sangar dan jelas orang
Papua.
Nama pria bertubuh
mungil itu Elfis Yosua Trukna, salah seorang mahasiswa Papua yang dikirim oleh
Dikti dari Papua ke Universitas Syah Kuala. Mahasiswa semester satu di jurusan Ekonomi
Akutansi fakultas Ekonomi. Ia tak sendiri di Banda Aceh, pria yang biasa disapa
Eli ini bersama 19 teman lainnya untuk belajar di Unsyiah.
“Sebenarnya ada 30
orang yang akan diberangkatkan, tapi karena ada yang takut dengan Tsunami dan
takut dengan perbedaan agama makanya 10 orang tidak berani kesini karena tidak
diizinkan orang tuanya,” kata lelaki kelahiran 10 Oktober 1992 ini di kantin Askopma, Kamis,
(6/12/2012) malam.
Namun Elfis berbeda
dengan teman-temannya yang lain yang enggan pindah ke Nanggroe Serambi Mekkah.
Ia menganggap meski mayoritas penduduk Aceh Muslim, namun Aceh sama seperti di
Papua. Yang diucapkannya tak beralasan, kesamaan yang ia maksud diantaranya
adalah perihal Agama.
Menurut pengakuannya,
jika di Papua, agama yang dianut masyarakat disana tidak ada yang diatas atau
dibawah, melainkan sama. Muslim 50% serta Kristen 50%. “Meski disini mayoritas Muslim, namun tetap saja
mereka toleransi terhadap kami, disana juga banyak mesjid-mesjid seperti
disini,”. Kata anak dari Efraim Trukna dan Yohana Alimdam ini.
Selain itu, kesamaan
yang lainnya ialah di Aceh dulu sempat lahir Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang
kini telah berdamai dengan pemerintah RI. Di Papua saat ini juga mempunyai
sebuah gerakan yang ingin memerdekakan Papua dari Indonesia, yaitu Organisasi
Papua Merdeka (OPM).
“Ya saya anggap Papua
dan Aceh itu sama, masyarakatnya juga ramah-ramah, tidak seperti saat saya berada
di Jawa dulu,” katanya mulai menceritakan masa kelamnya saat di Jogjakarta.
Elis sempat menikmati bangku
sekolahnya di SMAN 1 SMAPTA, Jogjakarta mulai kelas satu hingga tamat. Selama tiga
tahun tersebut, ia tak selalu bisa menikmati perlakukan baik dari orang-orang
disana, terkadang dia dicemooh, dilirik hingga diteror oleh orang-orang baik
yang ia kenal maupun yang tidak ia kenal.
“kadang-kadang ada yang
bilang, woi OPM kau ya, gak bakal merdeka kau,” katanya mencoba memperagakan
seperti bagaimana seseorang berkata kepadanya saat di Jogja.
“Di Aceh tidak begitu, dikampus pun saya berasa
seperti artis karena teman-teman baik kepada saya, mungkin karena mereka belum
pernah bertemu dengan orang Papua sebelumnya,” tambah anak pertama dari empat
bersaudara itu sambil tertawa.
Kehidupan di Aceh bagi
pria ramah ini begitu menyenangkan, dengan budayanya, masyarakatnya hingga
kebiasaan orang-orang Aceh dalam kesehariannya. Namun yang paling menarik bagi
Eli terhadap Aceh ialah saat sedang di rumah makan atau warung kopi dimana
kebiasaan orang Aceh selalu berlama-lama disana walau hanya untuk minum kopi.
“Lucu, saya dulu di
Papua selesai makan minum langsung pergi karena nantinya akan ada orang lain
lagi yang akan duduk disana. Tapi disini bisa santai-santai dulu selesai makan
atau minum, suka saya,” katanya memasang wajah senang.
Selain itu penyuka mie
Aceh ini mengatakan orang-orang di provinsi paling ujung Sumatra ini sangat
ramah dan sangat bersahabat bahkan dengan orang asing baik dalam maupun luar
negeri.
“Saya terkejut dan
tertawa saat pertama membeli makanan di Aceh, sangat murah. Sekali makan saja
hanya perlu mengeluarkan uang sebesar Rp 10 ribu, tapi kalau di Papua sana
tidak cukup Rp 10 atau Rp 20 ribu tetapi Rp 100 ribu,” kata Eli sambil
tersenyum.
Namun dibalik nilai
positif yang ia rasakan, ada satu hal yang membuat pria asal Sumtamon,
kabupaten Pegunungan Bintang provinsi Papua ini kebingungan saat berada di
Aceh.
“Saat saya tiba di Aceh
saya bingung begitu, kami di Papua setiap hari Jumat dan Minggu libur karena
itu kan hari besar untuk Muslim (Jumat) dan Kristen (Minggu), jadi bisa saling
menghargai satu sama lain, sederajat begitu,” katanya dengan bahasa aksen Papua
yang khas sambil menyulutkan sebatang rokok Wild Mild dan sejenak beranjak
meminjam korek kepada teman asrama yang lain.
Ia juga mengeluh
tentang fasilitas yang ia terima saat di asrama dari pemerintah Papua lantaran
pemerintah tidak memberikan fasilitas belajar seperti meja belajar, ditambah
lagi pengiriman uang baik dari pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten
sering terlambat hingga satu bulan lebih. Padahal pemerintah telah berjanji
akan memberikan fasilitas lengkap kepada para mahasiswa Papua yang kuliah
diluar Papua.
“Kami terima uang beasiswanya
dalam tiga tahap, dari Dikti Rp 800 ribu, provinsi Papua Rp 1,2 juta dan dari kabupaten
Pegunungan Bintang Rp 5,5 juta untuk setiap bulannya, tapi sering terlambat,
punya yang bulan November pun belum dikirim,” kata di sambil menghembuskan asap
rokok ke arah belakangnya agar tak terkena saya yang tidak merokok.
Ketua untuk mahasiswa Papua
yang belajar di Unsyiah ini adalah salah satu anak Papua dari 747 mahasiswa yang dikirim ke universitas
diluar Papua dan disebarkan ke seluruh Universitas negeri di Indonesia. Mereka
dikirim bukan tanpa alasan. Melalui program Unit Percepatan Pembangunan Papua
dan Papua Barat (UP4B), mereka di didik keluar Papua agar di masa mendatang
bisa membangun provinsi mereka dengan lebih baik.
Selain itu, sebelum
para calon sarjana mereka menuju ke kampus yang telah ditentukan, mereka juga
menandatangani nota kesepakatan (MoU) antara masing-masing mahasiswa dengan Dikti.
Dan yang lebih menjanjikan lagi, 747 orang yang dikirim usai menjadi sarjana
maka dijamin mendapat pekerjaan sesuai perjanjian.
“Kalau saya nantinya
selesai menjadi sarjana maka akan ditempatkan di DPRD Papua melalui Pergantian
Antar Waktu (PAW) selama dua tahun,” kata Elie sambil mengipaskan asap rokoknya
yang tanpa terasa hinggap ke wajah saya agar tak tercium oleh saya dengan
tangannya.
Selain itu dia juga tak
diizinkan orang tuanya untuk kembali ke Papua kecuali sudah mendapat gelar
sarjana. “Pokoknya pulang ke Papua kalau sudah jadi sarjana jadi langsung
kerja,” katanya mencoba mengulang kalimat yang disampaikan oleh sang ayah
untuknya.
Meski kerinduannya
sangat besar terhadap keluarganya yang berada di ujung timur Indonesia itu,
selain karena orang tuanya, Eli juga mengingat ongkos yang harus ia keluarkan hampir
mencapai Rp 7,5 juta untuk sekali pulang sehingga ia mengurungkan niatnya untuk
kembali ke kampung tercinta. “Lagian saya senang dengan Aceh,” katanya sambil
tertawa dan membuang puntung rokok yang sejak tadi dihisapnya.
kaosnya kok bagus mas???
ReplyDeleteitu lambang hati bersinar PSHT Mas???
Muhammad Mualimin itu nama fb ku mas, tlong add saudara
ReplyDelete