Sarjanaku Dari Koran
Wajahnya tampak
kusam, ditambah lagi dengan jenggot yang
tumbuh di sekitar pipinya tampak pria itu seperti orang yang tak berpendidikan.
Namun siapa sangka, ia telah menyelesaikan kuliah S1 nya di Institute Agama Islam Negeri Ar-Raniry Banda
Aceh dengan biaya kuliah yang ia cari sendiri.
Saat menemuinya di
warung kopi Berlian di jalan Cut Ali belakang Mesjid Raya Baiturrahman Banda
Aceh, Rabu 10 Oktober 2012 siang, pria ini tampak mengenakan baju oblong hitam yang
sudah lusuh, celana jeans hitam yang telah berubah menjadi abu-abu, topi tua dan
kacamata tebal yang terlihat sudah lama ia gunakan.
Pria itu bernama Baidhawi. Anak pertama dari empat orang bersaudara ini menjalankan perkuliahannya dulu tanpa campur tangan orang tuanya. Ia mencoba berkuliah dengan bekerja sampingan sebagai loper koran. Namun dibalik itu semua ia menutupi kesusahan hidupnya dengan senyum dan tawa. Saat Sumber Post mewawancaranya, banyak jawabannya diakhiri dengan tawa khasnya.
“Rasa malu
sempat menghampiri saya dan itu sangat mengganggu, namun saya mencoba bertahan,
karena saya ingin seperti teman-teman saya yang lain. Mereka memperoleh
pendidikan hingga ke bangku kuliah,” katanya sambil meneguk teh hangat yang ia
pesan sebelumnya.
Anak dari
pasangan Ismail dan Nurmala ini selama bekerja sebagai loper koran, setiap harinya
ia bangun subuh hari untuk bersiap-siap pergi ke kantor Serambi Indonesia untuk
mengambil koran.”Sebelum pergi saya mandi dulu di mesjid raya Baiturrahman, ya
bayar Rp 2 ribu,” katanya sembari
tertawa ringan.
Ia mandi di sana
bukan tanpa alasan. Selama menjalankan
perkuliahan hingga sekarang, ia tidur di suatu kios kecil berukuran 100x50 cm yang
sudah tidak digunakan lagi. “rumahnya” itu terletak di seputaran jalan Mohd.
Jam, tepatnya di dalam komplek Pegadaian. Kios itu diberikan oleh M. Isa,
kenalannya yang juga ternyata teman satu kabupaten Pidie yang sama dengannya.
Disitulah setiap harinya ia beristirahat dn berteduh.
Rasa tak nyaman
selalu menghantui pria kelahiran Sigli, 1 Mei 1980 ini, pasalnya ukuran “istana”
nya tak sebanding dengan panjang tubuhnya. “Ya harus meukeuin (merapatkan
lutut ke dada) lah,” kata alumni fakultas
Dakwah jurusan PMI Kesos ini sambil tertawa.
Sembari menonton
pertandingan bola liga Inggris di TV, pria ini menceritakan kenangannya saat
mengantarkan koran sambil kuliah.
“Sebelum saya
bekerja sebagai loper koran, terlebih dahulu saya bekerja di warung kopi selama
hampir satu tahun saat mulai kuliah,” kata Baidhawi. ”Namun lantaran pada saat
itu sedang puasa Ramadhan, maka saya mencari pekerjaan lain. Bang Isa yang mengajak
saya menjadi loper koran dan saya terima saja,” katanya mulai serius.
“ Saat mulai
menjadi loper koran, saya bangun pukul 4:15 pagi, kemudian mandi dan langsung
menuju ke kantor Serambi untuk mengambil koran yang telah sudah di pesan
sebelumnya,” tambah Baidhawi sambil terus menonton pertandingan bola tersebut.
Dia tak pergi dengan sepeda motor, ia pergi
dengan sepeda gunung tua miliknya. Alasannya unik, dia takut jatuh ketika
membawa sepeda motor. Dari tempat ia mengambil koran tersebut, ia langsung
mengayuh sepedanya untuk mengantar koran kepada para pelanggannya antara
kawasan simpang Surabaya hingga Neusu. “Kemudian saya langsung pergi ke kampus
sekitar pukul 7:30 pagi dengan menggunakan bus Damri,” katanya.
Dari kerja
kerasnya itu, ia hanya memperoleh upah Rp. 1,2 juta setiap bulannya. Hasil itu
tak selalu ia dapatkan lantaran apabila pelanggannya tidak membayar iuran
bulanan koran, maka ia yang harus menyetor ke Serambi dengan uang pribadinya.
Akibat dari itu, kebutuhan sehari-harinya untuk makan pun terkadang mandek.
Wisuda, tetap
loper
Baidhawi terus
saja meneguk teh yang tak hangat lagi itu hingga habis untuk membasahi
kerongkongannya. Dengan bersender pada dinding, tangannya terus saja menopang
dagunya di atas meja sambil terus menikmati tontonan bola yang hingga menit
akhir tak tercipta satu pun gol itu.
Tiba-tiba saja
raut wajah Baidhawi tampak tersenyum saat Sumberpost menanyakan apakah dia
tetap mengantar koran saat kuliah atau tidak. Ia menjawab sambil tersenyum.
“Saat wisuda bulan Mei (2012) lalu, saya
sangat takut telat hadir, maka pukul setengah tiga malam saya langsung
mengambil koran, tapi ternyata korannya belum tiba,” katanya semangat.
Koran yang
ditunggu Baidhawi akhirnya tiba pada pukul setengah empat pagi dan langsung
saja dengan cepatnya ia mengayuh sepedanya untuk mengantar 50 eksemplar koran
yang ia bawa kepada pelanggan setianya.
“Setelah saya
mengantarkan ke pelanggan, cepat-cepat mandi untuk pergi ke acara wisuda saya,”
tuturnya kembali tertawa mengenang masa lalunya saat dibangku kuliah.
Sebelumnya, saat
kuliah, Baidhawi tak pernah mengatakan kepada orang tuanya bahwa dia berkuliah.
“Orang tua tahu saat akan tamat kuliah, dan mereka sangat senang dengan
lulusnya saya di perkuliahan, padahan mereka tak pernah memberi biaya kuliah
saya,” tuturnya penuh haru.
Baidhawi Mulai
kuliah di IAIN Ar-Raniry pada tahun 2008 hingga 2012. Tak hanya tepat waktu, ia
pun mendapatkan IPK yang patut diperhitungkan oleh orang lain, yaitu 3.13.
dengan kerja kerasnya itu, Baidhawi juga dapat mengundang kedua orang tuanya
untuk hadir di acara wisudanya.
Dibalik itu
semua, kesuksesan Baidhawi dalam perkuliahan disokong oleh dua orang yang dekat dengannya, Mukhtar teman dekatnya
dan seorang pembimbing skripsinya, pak Sabirin. “mereka berdua motivator saya
saat di bangku kuliah. Mukhtar adalah eman dekat saya, ia selalu membantu saya
saat mulai kuliah hingga tamat, sementara pak Sabirin terus memberi sokongan
moral kepaa saya hingga akhirnya bisa tamat tepat waktu,” jelasnya.
Baidhawi adalah
anak seorang yang kurang dalam segi ekonomi. Ayahnya seorang pedagang sayur di
Sigli dan Ibunya ialah petani di kampung halamannya, di Padang Tiji.
Ia berharap
untuk masa mendatang apa yang dilakukannya saat kuliah dulu tak dirasakan oleh
orang lain karena ia tahu, tak mudah bagi seorang mahasiswa untuk dapat
membiayai kuliahnya sendiri.”Saat ini bagi yang kuliahnya dibantu oleh orang
tua, pergunakanlah kesempatan itu sebaik mungkin, karena tak semua orang bisa
mendapatkan kesempatan itu,” harapnya.
Kini Baidhawi
masih menikmati pekerjaannya sebagai loper koran, ia pun sudah berniat akan
melanjutkan pendidikannya pada taraf yang lebih tinggi lagi. Ia rela bersusah
payah menjadi loper koran untuk mendapat titel Sarjana seperti teman-temannya yang lain.
Itu Baidhawi, Bagaimana dengan Anda ? [Rayful Mudassir]
Comments
Post a Comment