Skripsi dan Pelarian ke Warung Mangrove
Di awal Maret yang terik, saya dipusingkan
dengan berbagai deadline. Selain tugas liputan radio dan di portal online,
skripsi juga tak kalah bikin puyeng. Tapi perlahan rasa lelah saya pergi, saat
Hadi tiba dengan panggilan hati. Hadi oh Hadi. #BukanLGBT.
Hadi adalah Pimpinan Redaksi di media kampus UIN,
Sumberpost. Ia sangat berbaik hati mengajak saja untuk pergi ke Warung
Mangrove, tidak jauh dari makam Syiah Kuala di kawasan Lamdingin, Banda Aceh.
Niat hati ingin ikut dalam program Kuliah
Pengabdian Masyarakat (KPM), berbasis Participatory Action Reserch atau PAR di
kampus, saya habis habisan berkutat dengan kata dan data.
Sore itu, untuk pertama kalinya saya bertemu
dengan Dosen Pembimbing II, Pak Salman Yoga di Chek Yuke Tepi Kali pukul 16.00
WIB.
Pertemuan saya dengan Pak Salman berlangsung hangat.
Sebelum beliau memeriksa BAB I, saya sampaikan niat untuk mendaftar KPM – PAR
(biasa disebut KKN di sejumlah kampus) yang akan di tutup tanggal 15 nanti. Akibatnya
saya sangat butuh pengakuan BAB I saya selesai.
Dan diluar dugaan, meski di coret sana-sini,
kertas polio lima halaman itu semakin dikotori dengan tulisan “ACC. Silakan
dilanjutkan ke bab berikutnya,” serta dibubuhkan nama dan tanda tangan
sastrawan ini di bagian sampul skripsi.
Alhamdulillah, BAB I selesai !!!
Selesai berbincang sejenak ditemani Habibi yang
juga mahasiswa bimbingan Pak Salman, kami kemudian beranjak.
Sebelum pergi saya sempatkan menyecek hape.
Rupanya nama Abd Hadi muncul di list miscall. Setelah itu masuk pesan darinya
melalui Whatsapp menanyakan saya dimana. Lantas kemudian saya telpon pria muda,
energik dan digandrungi para lelaki ini, #eh.
Sore itu dia mengajak saya untuk ngopi di Sekret
Sumberpost, namun cepat saya tolak, “Alah malas kali aku Di, jaoh kali pun
kesana. Dekat-dekat sini ajalah,” pintaku dari ujung ponsel. Akhirnya kami
sepakat untuk ngopi di Warung Mangrove. Saya memintanya untuk menunggu di depan
Mie Lala, Lamdingin. Tiba di lokasi, malah saya yang harus menunggu Hadi.
Usai shalat Ashar di mesjid terdekat. saya masih
menunggu hadi di pinggiran jalan Syiah Kuala. sampai-sampai dengan amat sangat
terpaksa untuk menghilangkan boring, akhirnya saya pasrah untuk nge-CoC
sejenak.
Bukan terpaksa sih, tapi memang saya gemar game
android. hehe
![]() |
Nah ini Hadi lagi makan mie sambil nulis berita. Foto: Rayful |
20 menit berlalu. Hadi muncul menggunakan jaket
parasut hijau lumut, sambil menjinjing tas kamera. Tentu cukup menegaskan gaya
kasual anak-anak ABG pada umumnya. Semakin padu dengan warna kulit Hadi, kuning
langsat dan motor matic sporty putih yang dikendarainya.
Dia mengajak saya ke salah satu warung yang ada
di kawasan itu. Sekilas, tak meyakinkan. Namun tiupan angin laut sedikit
memaksa saya untuk memarkirkan kendaraan dan duduk di sudut warung bersama
Hadi.
Setelah memesan mie rebus biasa, saya dan Hadi
seakan hanyut menikmati terpaan angin yang terasa menyentuh wajah. Ditemani
irama musik etnik Aceh sayup-sayub dari siaran radio.
Suasana ini jelas bikin penat hilang. Ditambah
lagi dengan tanaman bakau (mangrove) yang berjejer di sekitar warung, menjadi
obat penghilang sakit kepala buat saya. Ya, meskipun ada sedikit bau tak sedap
karena sampah di bawah warung. Maklum, bangunan ini berdiri di atas tambak yang
nampak tak tarurus.
Warung Mangrove tak jauh dari pusat kota Banda
Aceh. Dari Simpang Jambotape, butuh perjalanan sekitar satu kilometer lagi ke
arah Makam Syiah Kuala. Warung ini tepat berada di sisi kanan jalan setelah
melewati jembatan.
![]() |
Saat menemukan jembatan, lihat saja ke kanan. karena di situ lokasinya. Foto: Rayful |
Jika dilihat-lihat, warung satu ini memang bernuansa
tradisional dengan kursi hijau plastik dan meja bundar yang menurut saya
terlalu besar. Namun jangan salah sangka. Bagi Anda yang ingin menggunakan
layanan wi-fi, disini juga tersedia.
“Aku tau dari kawan bang, mantap kan tempatnya,”
kata Hadi saat saya tanya asal-usul mengetahui lokasi ini.
![]() |
Gimana - gimana ? bisa gini posenya ? hihi Foto: Rayful |
Kami menikmati sajian Mie Rebus yang kuahnya
hampir tumpah itu dengan teh hangat. Lidah saya benar-benar berpesta kali itu
menikmati cita rasa yang teramat special. Sampai-sampai setelah makan saya
duduk tertidur sejenak sebelum Hadi membangunkan saya.
Tiap porsi mie dibanderol Rp8 ribu. Jika memesan
Mie Udang, Anda harus merogoh Rp25 ribu. Teh hangat yang kami pesan hanya Rp4
ribu per gelas. Murah kan ?
![]() |
Ini penampakan saya hahha. Foto: Rayful |
Oya, saya hampir lupa. Bagi Anda yang suka
mengabadikan moment matahari terbenam atau paling tidak, suka memandangnya, ini
salah satu spot terbaik yang saya tahu.
Langit oranye dan bulatan sempurna matahari sore,
bisa disaksikan dari sini. Cukup menyeberang jalan agar bisa memotret suasana
ini lebih dekat. Tentu saja, itu yang kami lakukan sebelum beranjak pulang dan berkutat
dengan kegiatan masing-masing.
Sampai jumpa di perjalanan berikutnya.[]
Rayful Mudassir
Comments
Post a Comment