Perjalanan Panjang Menuju Rumah

Siapa yang tak tau dengan istilah hidup bagai roda yang berputar. Ya, memang semua orang merasakan seperti itu. Semacam de javu, hanya segelintir orang yang bisa menikmati hidup yang begitu-begitu saja.

Begitupun aku, banyak hal pahit yang tentunya sulit dilupakan. Terkadang tanpa sadar membuatku tersenyum simpul. Masa-masa awal kuliah di Banda.

Sudah menjadi kebiasaan anak rantau yang kuliah jauh dari kampung mengalamai hal yang tak enak lagi menyesakkan hati. 

***

Sejak berada di Ibukota Aceh ini, cuaca terik senantiasa menemani aktifitas perkuliahan. Di ruang dan di kantin, udara sama saja, gerah. Hari itu pikiranku agak kacau, bukan karna tugas yang belum selesai, atau dosen cantik tak masuk. Tapi motorku yang segera minta jatah bensin untuk terus berpacu.

Usai ngampus hari itu, aku berfikir berulang kali untuk pulang, firasatku tak enak memikirkan motor yang memang akan secara berteriak kehabisan 'minuman'nya. Namun tiada daya, keajaiban yang diharapkan tak kunjung datang, seseorang yang menawarkan pinjaman yang untuk sekedar bisa pulang dengan aman.

Tampang khawatir dari raut wajahku, tak terelakkan. 

"Bismillah," aku membatin.

Perlahan kupacu motor Smash 110 cc secepat yang ia bisa. Perjalanan dari Lamdingin ke Ulee Lheue biasa memakan waktu sekitar 15 menit dengan jarak tempuh hampir sembilan kilometer.

Sial emang gak kemana, Baru setengah jalan, kuda besiku mulai mendek perlahan. Tau tak akan sampai ke rumah aku terus berharap ada keajaiban. Tapi memang gak memungkinkan lagi untuk tiba ke tujuan, hingga akhirnya motor itu mati dengan sendirinya. Tiba di pinggiran jalan, kudorong motor tua itu hingga ke dinding beton Mall Barata.

Mall ini dulu sebelum Tsunami 2004 sempat menjadi pasar raya yang jadi pusat belanja masyarakat ibu kota kala itu. Namun seiring berjalannya waktu, bangunan gagah itu mulai tergerus zaman, dan perlahan di tinggalkan. 

Aku berfikir keras mencari solusi agar bisa membeli bensin, paling tidak untuk sekedar sampai ke rumah dan ke kampus saja untuk beberapa waktu.

Tiba-tiba aku teringat dengan uang 3rb yang kusimpan di saku celana. Sayangnya aku sedang tak memakai celana yang ku maksud. 

Bukan mudah untuk dapat uang yang gak seberapa mana itu, harus pulang ke rumah demi mengambil 'sang penyelamat'. Perjalanan ke tujuan pun ku tempuh dengan berjalan kaki. Sangat membosankan.

Lima kilometer cukup untuk membasahi baju yang kukenakan. Jarak itu hanya pulang, sedang untuk menuju tempat motor yang terparkir, ditambah lima kilometer lagi.

Pikirku tak mungkin untuk membeli bensin hanya Rp3 ribu. Tak ada jalan lain, "Peugade hape manteng," sedikit putus asa. Aku punya handphone yang pernah tenar di satu masa, N70.

Saat perjalanan balik ke simpang Barata setelah mengambil uang di rumah, satu per satu kedai yang menurutku potensial, aku datangi, meminta pinjaman Rp 50 ribu dan akan kukembalikan secepatnya dengan jaminan handpnone canggih itu. Tapi malang nian nasib anak rantau sepertiku tak ada yang mau menolong. Hampir semua yang kudatangi mengatakan tidak memiliki uang. Apa mereka takut itu barang curian ? Oh Tuhan...

Sampai di persimpangan dekat motor, belum juga kutemukan sang penyelamat hari itu.

Oya aku baru ingat ada teman yang berjualan disekitar tempat aku berada. Suhaimi, teman kampusku yang biasa menjaga toko buku el-risalah di pusat kota. Ku telpon kontaknya. Hati mulai tenang sekaligus was was karena ini menurutku pilihan terakhir.

"Halo bang Suhaimi, pat posisi?"

"Di keude nyoe Rayful, kiban?" Jawabnya di ujung telpon.

"Bang, na peng siat meu limong ribe?"

"Oo na nyoe, jak aju u toko," sambungnya.

"Alhamdulillah makasi banyak bang beh, nyoe lon keunan bang."

Aku bergegas untuk ke toko tempat Sumaimi bekerja, paling tidak yang Rp 5 ribu cukup lah untuk membeli bensin ditambah uang Rp 3 ribu milikku.

500 meter aku berjalan hingga tiba pada Suhaimi. Ia terkejut saat kuceritakan apa yang terjadi sejak siang tadi. Ia menawarkan untuk mengantar, tapi kutolak karena akan merepotkannya.

Aku kembali ke tempat motorku berada dan mengisi bensin di pinggiran jalan. Setelah itu aku pulang dan rehat. Dalam istirahatku, terus mengingat kejadian tadi. Aku tak sempat melihat matahari sore karena terlalu lelah.

Ini pertama kali kurasakan, tak ada keluarga yang tahu. Namun, seiring berjalannya waktu, semua menjadi kebiasaan, bensin habis di tengah jalan menjadi hal yang malah aku sendiri tertawa, bukan merenung.

Kuharap, roda hidup ini bisa kembali bergeser dan menempatkan aku diatas. Ya paling tidak untuk beberapa waktu, sebelum ia kembali bergerak.[]




Comments

  1. udah kenal yana waktu tu? kok kek kek cedih gitu citanya abg reful? ha ! ha !

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  4. Kreuh that udep abang lon lagoe....

    ReplyDelete
  5. Tulah dek, saket kali dek, saket hahaha

    ReplyDelete
  6. Hahahaa..
    Bek saket laju2 lah bang. Susah adk ntek :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Populer