Si Brengsek Yang Menyesal

Angin malam terasa menenangkan saat dirasa di teras rumah. Jutaan bintang di langit malam pun menemani malam ini. entah apa maksudnya. Tapi orang dulu mengatakan bahwa itu pertanda esok hari akan sangat terik. Gersang malahan. Tapi entahlah. Yang pasti apapun cuaca besok. Aku tetap pergi kuliah seperti biasa. Terlebih lagi aku bukan orang yang suka percaya terhadap mitos-mitos.


Malam ini sepertinya malam terakhir aku menikmati masa libur semester baru. Besok akan mulai masuk perkuliahan semester lima. Pasti akan melelahkan karena sudah lama tak berada di ruang selama berjam-jam. Apalagi dengan matakuliah yang lumayan rumit. Ditambah lagi dosen yang dianggap mematikan bagi sebagian besar mahasiswa di kampusku.

Masuk ke kamar, kusiapkan beberapa perlengkapan kampus seperti biasa. Pulpen dan buku serta tas tentunya. Saat libur beberapa bulan yang lalu, agar tak menambah beban di tas saat bepergian selama libur, buku dan perlengkapan yang lain kutaruh di bawah meja papan kecil di sisi kanan kamar, disamping kusen pintu. Meja kecil itu kami jadikan tempat menaruh buku-buku apapun. Milikku dan saudaraku. Setelah kuraih buku tulisku di bagian bawah meja. Mataku seakan tertarik pada tumpukan buku kecil yang ada di bagian tengah  meja.

Perlahan kuambil saja. “Ow buku kampus.” Sekitar delapan buku tersusun. Iseng, kucoba lihat satu-persatu buku yang tertumpuk itu. panduan perkuliahan, buku matrikulasi bahasa arab dan inggris, buku Menahan hawa nafsu, cara mudah berbahasa inggris, dan.. Ohh tidak

“Buku Indonesia bangkit.” Perasaanku terhentak seakan menyadari kesalahan masa lalu. Seakan jiwaku terbawa ke masa lalu terbaik dan terburuk yang pernah kurasakan seumur hidupku. Masa-masa dimana aku begitu menyesal karena meninggalkan masa indah itu. Meski di masa yang tak terlupakan itu ada beberapa kesalahan yang kulakukan. Aku seperti terbawa pada kisah dua tahun lalu.

***
Panas terik. “Ah sudah hampir setiap hari kurasakan panas seperti ini.” di masa libur awal perkuliahan. Aku memilih untuk pulang kampung ke Lhokseumawe untuk sekedar bersama keluarga dan membantu ayah ibu, menjaga kios.  Yap, tak cocok kukatakan toko, karena tempat keluargaku berjualan sangat kecil. Mungkin sekitar 4x4 meter persegi. Letaknya tak jauh dari rumahku.

Terkadang suntuk sih. Aku tak ingat secara jelas bagaimana hari itu berjalan, tapi tetap saja hari itu merupakan salah satu hari yang paling kusesali. Siang itu, aku sangat ingat, wanita specialku saat itu mengunjungi kios keluargaku. “Ah senangnya,” aku membatin. Ya, kumis. Sekarang aku tak pernah ragu menulis nama itu. terlebih saat aku menyesali kepergiannya. Semua karena aku.

Setelah mematikan sepeda motor maticnya, ia menuju ke arahku yang berdiri di depan kios  menyambut wanita yang tingginya hampir melewatiku itu. dengan rok dan kacamata pink-nya, ia selalu terlihat anggun. Terakhir kali, ia mengganti kacamata itu dengan yang baru. Batang depannya berwarna hitam, dipadukan dengan warna kesukaannya, merah jambu di kiri kanan kacamatanya. Itu membuat perempuan yang ku kenal sejak di SMA itu semakin memesona.

“Bang ni, oleh-oleh dari Medan.” “Loh apa ini ? abang kan cuma becanda aja tempo hari,”. Aku ingat betul beberapa hari sebelumnya, ia berangkat ke Medan, tempat kelahirannya. Aku sempat berseloro dengannya dengan meminta oleh-oleh. Benar-benar hanya bercanda. Tapi ia menganggap itu serius. Aku mengucapkan terima kasih padanya. Tapi jujur saja aku kurang suka dengan buku yang diberi padaku saat itu.

“Buku apa ni ?.” “P belinya di Gramed Medan, mana tau abang suka,” katanya dengan nada riang, seperti biasanya. “Ih apalah buku ini,” tapi nanti lah abang baca ya, makasi ya.” Bodohnya aku tak sadar melihat wajahnya yang semakin lama terlihat tak bersemangat. Dan kuanggap itu karena aku kurang menghargai pemberiannya. Kenapa aku menghancurkan pemberian darinya ? Padahal dengan iklasnya ia memberi buku itu padaku.

Kenapa butuh dua tahun untuk menyadari kebodohanku itu ? terlebih lagi aku tersadar di saat aku dengannya sudah berpisah, setahun yang lalu. Aku seakan mengutuk diriku sendiri. Sangat tak pantas sebenarnya aku pernah menjadi kekasih seseorang yang dengan tulus ikhlas mencintaiku dengan segala kekuranganku. Mencintai tanpa memperdulikan keadaanku. Menyayangi sebenar-benarnya menyayangi.

Brengseknya aku menghinatinya dengan hal konyol yang sudah setahun lebih aku sesali. Dan sepertinya sudah sekian lama aku merasakan apa yang ia rasakan saat kusakiti tanpa kupedulikan. Perih ternyata. Sangat perih bahkan. Seandainya Sang Waktu bisa mengembalikan aku di masa yang lalu. Aku kusampaikan rasa terima kasihku padanya atas segala pemberian yang telah diberikan kepadaku. Akan kugenggam erat tangan mungil itu untuk meminta maaf padanya karena menyepelekan pemberiannya itu. dan satu lagi. Aku akan meminta maaf padanya karena banyak pemberiannya aku hilangkan, Ahh bodohnya aku. Itu semua kesalahanku.

Meski sekarang ia sudah tak peduli lagi padaku. Tapi wajar kupikir. Karena dulunya aku dengan tanpa merasa bersalah tak memperdulikannya.

Nyaris setahun aku meratapi kesalahan, menyesali segala tindakan. Dan seperti biasa, penyesalan selalu hadir di akhir cerita. Tak bisa diulang, hanya bisa dirasa sisa-sisa keindahannya saja. Dan kupikir ini pelajaran yang paling berharga dalam hidupku. Menyia-nyiakan orang yang sangat sayang padaku waktu itu.

Namun semua sudah berjalan cukup lama. Waktu satu tahun adalah waktu yang cukup kan untuk melupakan seseorang ? ya, dia mungkin sudah melupakanku. Dan aku coba terima itu. walaupun hingga saat ini aku belum bisa melupakannya.

***

Kubegang erat buku itu, kubuka beberapa halaman. Tak kubaca, hanya sekedar membuka lembaran-lebaran motovasi itu. Tiba-tiba tak tau apa yang terfikirkan olehku, tapi tanpa sadar kedua tanganku yang menggenggam buku itu, perlahan mendekat ke mulutku. Kucium buku itu, seakan aku terbawa pada masa lalu. Harus ku katakan, aku merindukan dia.

Dengan segera aku mengambil pulpen yang tadi kusiapkan untuk kuliah besok, kutulis kalimat-kalimat penyesalanku di halaman awal buku itu, mungkin suatu saat akan berguna untukku. Serta tak lupa kutuliskan tanggal 25 September 2013. Tanggal dimana aku menulis kalimat sesalku di buku itu.

Buku itupun kumasukkan di dalam tas kuliah. Mungkin saat ada waktu kosong akan kulanjutkan kembali membaca isinya yang sudah lama tak kulanjutkan. Melihat buku itu, aku seakan melihat bayangannya. Apakah aku bisa merelakan ? entahlah, yang pasti aku menyesal telah meninggalkannya. Tapi rasanya tak mungkin aku bisa kembali padanya. Sebentar lagi ia akan menjadi orang sukses. Sedang aku, hanya mahasiswa biasa yang belum tahu bagaimana masa depanku. Tapi yang terpenting adalah ia bisa bahagia nantinya. Aku sangat berharap akan hal itu.

Jika ia membaca ini, aku ingin meminta maaf padanya dengan sangat bersungguh-sungguh atas segala kesalahan yang kubuat, hingga menyakiti hatinya sekian lama. benar tidaknya ceritaku ini hanya dia dan Tuhan yang paling tahu. Tapi rasanya ia tak akan membaca ini, malahan mungkin saja ia tak peduli. J aku akan coba terima itu.

Biarkan waktu yang menjawab semua. []


Comments

Post a Comment