Aku Dan Mereka Saat Bersama | Part 1
Ini adalah sepenggal cerita yang tak ada istimewanya bagi orang lain, tapi begitu istimewa tentunya bagi kami. maaf berhubung lagi kena penyaket malas membaca, jadi tulisan ini tanpa melewati proses editan hehe
Handphone
tinut-tinut kesayanganku bergetar tanpa mengeluarkan bunyi. Sebuah pesan
singkat tampak dari layar. “Owh dara,” batinku. Yap, hari ini aku memiliki
janji buka puasa bersama dengan teman-temanku. Tidak semua mungkin, kami hanya
berempat, Aku, Dara, Helmi dan orang tersehat, Dofa.
“5 menit
lagi ane ke sana,” balasku di pesan yang dikirimkan
“Kalo udah
sampe sms aku ya,” balasnya lagi.
Ya ini dia
ni kebiasaan Dara, selalu ingin teman-teman yang lain menunggunya, dan dia
paling tidak suka menunggu, walau terkadang ia tetap menunggu karena ku kibuli.
Sebelum
pergi ke lokasi berbuka, kusempatkan waktu untuk mandi terlebih dahulu. “udah
minta dicukur ni kumis dan jenggot,” aku membatin. Tapi tak apa lah, sesekali
aku ingin berpenampilan berbeda, meski temenku mengatakan dengan tampangku yang
sekarang seperti penjahat yang baru keluar dari penjara.
Setelah
mandi dan memakai kemeja yang sudah kupakai kemarin, sedikit deo dan sok merapikan diri akhirnya
kunyalakan motorku dan bergerak ke lokasi berbuka. “Ra, mau ane beli kue atau
nggak ?,” tanyaku saat menelponnya.
“Ow boleh
tapi yang harganya mahal ya, haha,” jawabnya di ujung telepon.
“Hehe
serius ni,” kataku lagi. “Untuk apa pun, nggak usah aja, ane di jalan ni”
katanya. “Oke, ane hampi sampe, cepat !” sahutku sebelum mengakhiri pembicaraan
dengan salam.
Kembali
kupacu motorku motorku hingga sampai di tempat tujuan. Ramai, sangat ramai
bahkan. Beberapa mobil dan belasan sepeda motor sudah diparkirkan di tempat
parkir. Aku juga memarkirkan motor di sana.
“Jangan dikunci motornya ya bang,”
kata seorang pria yang memakai topi dan baju lagaknya kemeja yang kutaksir juru
parkir itu kepadaku. “Ow ia bang".
Akhirnya
sampai juga di Koeta Radja, pasti teman-temanku masih di rumah masing-masing
atau masih di jalan. Dan benar sesampai disana, tak ada tanda-tanda hidung
batang, eh batang hidung mereka disana.
Handphone mungilku kembali bergetar,
tapi kali ini telepon masuk.
“Ente
dimana ?,” kata Dara di ujung telepon. Langsung saja kucari wajahnya kea rah
parkiran hingga akhirnya kudapati si kecil itu.
“Ane ni,
yang angkat tangan,”. “Ow iaia,”.
Kamipun
bertemu bersama bertanya kepada pelayan tempat makan itu dimana tempat yang
sudah kami pesan sebelumnya. nomor empat pun menjadi jawaban kakak yang berjaga
disitu.
![]() |
orang-orang yang ngaku cakep, padahal keren |
“Nomor empat
ya, tapi kok ada orang ya,” aku membatin saat melihat dua orang pria duduk di
meja yang sudah kami pesan sebelumnya. “Abang duduk disini ya,” kata Dara
kepada dua pria berwajah agak garang itu
“Ia,” jawab
salah satu dari mereka.
“Owh emang
udah pesan tempat disini ya bang,
soalnya tadi kata kakak itu, kami di nomor empat,” sambungku mencoba memberi
pengertian, eh nggak ngerti juga rupanya.
“Ia, udah
pesan,”. “Yaudah saya coba tanya sama kakak itu aja ya bang,” kataku dan coba
menemui pelayan yang tadi. Dan setelah sang kakak memberi pengertian kepada dua
pria tadi, akhirnya dengan senyuman yang kukira terpaksa itu dilemparkan kepada
kami sambil mengatakan “Owh gak tau tadi, maaf ya dek,”.
“Ia bang
gak apa apa,” jawabku dan Dara membalas senyum mereka pula.
Ahh
akhirnya kami duduk juga. Dara sesekali melirik ayam penyet dan the dingin yang
sudah tersaji di atas meja. Ini memang benar-benar UN alias Uji Nyali menahan
makan sampai bunyi sirine di mesjid terdengar.
“Rayful,
rasaya ane pengen minum lah,” kata si cebol sambil merengek kepadaku. “Yaudah
gapapa minum aja, paleng juga batal puasanya,” sambil tertawa lepas bersama.
Wajar saja pikirku, aku dan dia sudah lama tidak berjumpa, entah berapa lama,
aku tak ingat, tapi yang pasti sudah lama. Dan di setiap perjumpaan itu, kami
tidak nampak seperti benar-benar sudah lama tak bertemu.
Dulu boleh
dikatakan aku dan Dara hampir setiap hari memanfaatkan waktu untuk meliput
berita. Kebetulan saat itu aku dan dia sama-sama bekerja di media cyber yang
ada di Aceh. Meski berbeda media, kami selalu mensupport satu sama lain hingga
akhirnya aku duluan yang meninggalkan dunia itu karena sebuah alasan.
Sejak saat
itu jelas sekali kami jarang bertemu, dan paling satu dua minggu sekali kami
bisa bertegur sapa kembali, dan tentunya warung kopi selalu kami jadikan untuk
mengobrol.
“Pacar ente
mana ?,”. “Hah? Pacar yang mana ?,” kata dara pura-pura begok, ya walaupun
memang bukan pacaranya. Yang kumaksud adalah Helmi, aku sering mengganggu
mereka sebagai sepasang kekasih. Asik soalnya hehe.
![]() |
Bersama kayaknya gak musti sama deh |
Tanpa komando
dari siapapun, kami sama-sama menghubungi yang belum datang, Helmi aku yang
hubungi dan Dofa menelpon Dofa. Dan ternyata Helmi sudah sampai dan menanyakan
dimana kami duduk. Seperti halnya dengan Dara, akupun mencoba mengacungkan
tangan kepadanya hingga ia melihatku dan duduk disampingku.
Dofa yang dihubungi
oleh Dara sepertinya masih berada di rumahnya, hal itu kusimpulkan karena dara
menyuruh pria di ujung teleponnya itu untuk segera bergegas. Yasudah fikirku,
nanti juga ia sampai.
“Besar kali
kok mejanya,” kata Helmi
“Ia besar
kali,” sahut Dara
“Ahh udah
lah gapapa yang penting kan ada tempat duduk,” sambungku sok bijak
Lama kami
bertga tidak bertemu bersamaan, biasanya aku denga Helmi saja. Kami bertiga
punya historis tersendiri tentang pertemuan kami satu sama lain, tapi seperti
kata Dofa, “Panjang gak ceritanya ? kalau panjang tules di buku aja dulu.” Itulah
selalu yang ia ulang saat teman-temannya ingin bercerita. Dasar Dofa.
“Eh Dofa
dimana ya, kok gak sampe-sampe juga,” ungkap kata dara mulai khawatir di
sela-sela perbincangan `gila` kami.
Apa Dofa
Jadi Datang Ke Buka Bersama ? Tunggu aja lanjutannya..
Hahahaa,..
ReplyDeleteMana Dofa? mana?
Yang nulis nya lagi saket ya? Kasian si Dofa gak ada -_-
hahaha dofa dofa kebesaran, jadi gak muat dimasukin ke blog :D
ReplyDelete